Archive for the ‘ Perkuliahan ’ Category

Model Pembelajaran Kontekstual


MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

(CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)

Prof. Dr. H. Suherli, M.Pd.

Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat mengurangi verbalisme dan teoritis. Di samping itu, pembelajaran ini dapat memberikan penguatan pemahaman secara komprehensif melalui penghubungan makna atau maksud dari ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa dengan pengalaman langsung dalam kehidupan yang nyata. Bagaimana menerapkan model pembelajaran ini?. Berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan model pembelajaran tersebut.

1. Latar Belakang
Dewasa ini, masih terdapat sistem pembelajaran yang bersifat teoritis. Sebagian besar siswa belum dapat menangkap makna dari apa yang mereka peroleh dari pembelajaran untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa “pada umumnya siswa tidak dapat menghubungkan apa yang telah mereka pelajari dengan cara pemanfaatan pengetahuan tersebut di kemudian hari“ (Gafur, 2003 : 1). Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini guru atau pendidik harus mampu merancang sebuah pembelajaran yang benar-benar dapat membekali siswa baik pengetahuan secara teoritis maupun praktik. Dalam hal ini, guru harus pandai mencari dan menciptakan kondisi belajar yang memudahkan siswa dalam memahami, memaknai, dan menghubungkan materi pelajaran yang mereka pelajari. Salah satu alternatif jawaban permasalahan di atas, guru dapat memilih model pembelajaran kontekstual.

2. Pengertian
Kontekstual (contextual) berasal dari kata konteks (contex). Konteks (contex) berarti “bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menmbah kejelasan makna; situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian “ (Depdiknas, 2001: 591). Kontekstual (contextual) diartikan “sesuatu yang berhubungan dengan konteks (contex)” (Depdiknas, 2001 : 591). Sesuai dengan pengertian konteks maupun kontekstual tersebut, pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan sebuah pembelajaran yang dapat memberikan dukungan dan penguatan pemahaman siswa dalam menyerap sejumlah materi pembelajaran serta mampu memperoleh makna dari apa yang mereka pelajari dan mampu menghubungkannya dengan kenyataan hidup sehari hari. Hal ini juga sejalan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang berasumsi sebagi berikut.

Secara alamiah proses berpikir dalam menemukan makna sesuatu itu bersifat kontekstual dalam arti ada kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki (siswa) memiliki (ingatan), pengalaman, respon ), oleh karenanya berpikir itu merupakan proses mencari hubungan untuk menemukan makna dan manfaat pengetahuan tersebut “ ( Gafur, 2003 : 1 ).


Menurut kerangka berpikir atau asumsi di atas pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menghubungkan alam pikiran (pengetahuan dan pengalaman) dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan. Jika siswa mampu menghubungkan kedua hal tersebut, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dari hasil belajar akan lebih bermakna dan dapat dirasakan manfaatnya. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran kontekstual pada prinsipnya sebuah pembelajaran yang berorientasi pada penekanan makna pengetahuan dan pengalaman melalui hubungan pemanfaatan dalam kehidupan yang nyata.

3. Aspek-aspek Lingkungan Pembelajaran Kontekstual
Sejalan dengan pengertian pembelajaran kontekstual sebagaimana telah diuraikan di atas, keberhasilan pembelajaran kontekstual perlu didukung oleh aspek-aspek lingkungan pembelajaran yang memadai. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut antara lain “ruang kelas, laboratorium, laboratorium komputer, lapangan kerja, lingkungan sosial, lingkungan budaya, lingkungan fisik, dan linmgkungan psikologis” (Gafur, 2003:2). Dengan memerhatikan hal-hal tersebut, pembelajaran kontekstual mendorong para pendidik (guru) untuk memilih atau merancang lingkungan belajar yang melibatkan sebanyak mungkin pengalaman belajar secara terpadu.
Ruang kelas atau juga disebut ruang teori, pada umumnya digunakan sebagai tempat penyampaian dan pembahasan informasi, konsep serta fakta-fakta yang berkaitan dengan pengalaman berpikir (pengetahuan). Masih ada kebiasaan pembelajaran yang masih keliru yakni siswa memperoleh pengalaman belajar dari kelas saja. Pembelajaran semacam inilah yang membentuk siswa menjadi teoritis, yaitu mereka hanya memahami ilmu pengetahuan dari sisi teori dan konsep. Dalam pembelajaran kontekstual, ruang kelas merupakan bagian media pembelajaran. Untuk membekali sisiwa agar mampu memperoleh makna dan menghubungkan pengetahuan yang mereka terima di ruang kelas dengan konteks lebih luas dan nyata, perlu didukung oleh media pembelajaran yang lain.
Media yang lain yang turut mendukung pelaksanaan pembelajaran kontekstual ialah laboratorium. Ruang dan penyediaan alat-alat laborat masih banyak yang beranggapan sebagai kendala karena memerlukan biaya yang cukup mahal. Hal ini yang masih menjadi alasan yang kuat bagi sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang belum memiliki laboratorium. Sebenarnya, laboratorium dapat dibuat dengan model dan alat yang sederhana, tidak harus dengan model dan alat serba mewah dan mahal. Pengadaan laboratorium yang penting dapat memfasilitasi siswa dalam memperoleh pengalaman belajar secara nyata melalui kegiatan praktik. Dalam pembelajaran kontekstual laboratorium merupakan media penghubung antara pengetahuan yang bersifat abstrak dengan pengetahuan yang bersifat riil atau nyata. Laboratorium sangat membantu siswa dalam melaksanakan kegiatan penelitian baik yang bersifat pengembangan (developmental), penemuan (explorative), maupun pengecekan kebenaran (verivikative). Kedalaman dan keluasan serta kekuatan pengalaman siswa terhadap sejumlah fakta, informasi dan pengetahuan serta konsep yang mereka terima di ruang kelas, dapat diperoleh melalui kegiatan pembelajaran di laboratorium.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembelajaran kontekstual dapat menggunakan laboratorium komputer. Melalui media ini, sedini mungkin siswa akan mengenal dan selanjutnya dapat memahami serta menggunakan media komputer dalam kehidupan sehari-hari. Guru dan para penyelenggara pendidikan sudah seharusnya mencermati, memahami dan mementingkan hal ini agar para siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kemajuan jaman. Pengetahuan dan informasi siswa tentang komputer tidak hanya teoritis atau konseptual, namun lebih jauh dari itu mereka dapat menggunakan dan memanfaatkannya. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Sisi lain media pembelajaran kontekstual yang harus diperhatikan oleh guru yakni lapangan kerja. Kaitannya dengan hal ini, ada semacam fenomena bahwa dewasa ini lembaga persekolahan identik dengan lembaga penghasil pengangguran. Kenyataan ini bahwa di lapangan (konteks sosial yang nyata), para lulusan sekolah lebih banyak yang menganggur dibandingkan dengan lulusan yang memperoleh lapangan pekerjaan. Permasalahan ini, apakah siswa kurang dibekali kecakapan hidup (life skills), atau tidak ada keseimbangan antara lapangan kerja dengan angkatan kerja. Pendidikan yang ideal mestinya dapat menghasilkan autput yang siap pakai di dunia kerja atau autput yang siap menciptakan lapangan kerja. Perbaikan kualitas autput pendidikan tidak lepas dari perbaikan kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang mengarah kepada pembekalan siswa dalam hal kecakapan hidup, antara lain pembelajaran kontekstual dengan mel
ibatkan lapangan kerja sebagai media pembelajaran. Pengalaman belajar melalui media lapangan kerja, akan membangkitkan semangat belajar dan menumbuhkembangkan minat serta bakat siswa. Dengan bekal ini siswa siap memperoleh lapangan kerja atau menciptakan lapangan kerja dalam kehidupan di masyarakat.
Di samping media pembelajaran di atas media lain yang turut mendukung pembelajaran kontekstual yaitu lingkungan sosial, budaya, dan psikologis. Lingkungan sosial dijadikan media pembelajaran agar siswa memiliki bekal hidup dalam sosial atau dalam masyarakat. Dengan bekal pengetahuan ini, siswa setelah lulus atau tamat sekolah siap hidup bermayarakat. Siswa akan dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya di mana ia tinggal. Selain itu siswa juga harus dibekali dengan pengalaman budaya. Dengan bekal ini, siswa diharapkan memahami, mencintai, menghargai, dan menikmati serta memilih budaya yang menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, siswa tidak akan terjerumus dalam budaya yang menyesatkan.
Pengalaman lain yang harus dimiliki siswa ialah pengalaman lingkungan fisik yang menyangkut fisik secara mikro yaitu dirinya sendiri maupun secara makro (alam semesta). Pemahaman siswa yang benar terhadap dirinya dan alam semesta, akan menumbuhkan kesadaran yang tinggi untuk senantiasa, meningkatkan serta memanfaatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam bagi kepentingan manusia pada umumnya.
Media pembelajaran kontekstual yang tiadak kalah pentingnya adalah lingkungan psikologis. Lingkungan psikologis yakni lingkungan yang berkaitan dengan kejiwaan. Pengetahuan dan pengalaman terhadap lingkungan ini, akan membantu mempercepat perubahan kematangan jiwa para siswa. Dengan bekal ini, pertumbuhan siswa baik fisik maupun psikisnya akan berkembang seimbangdan seirama. Pada akhirnya, melalui pembelajaran kontekstual yang melibatkan lingkungan psikologis, siswa akan mencapai kedewasaan lahir dan batin.
Di antara aspek-aspek lingkungan pembelajaran kontekstaul tersebut, hendaknya dirancang secara terpadu. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinanan guru dapat mencari lingkungan belajar yang lain, yang kemudian dikemas dalam sebuah model pembelajaran yang mengacu kepada konteks kehidupan yang lebih luas. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran kontekstual sebagai berikut
Dalam pembelajaran kontekstual diharapkan siswa dapat menemukan hubungan yang bermakna antara pemikiran yang abstrak dengan penerapan praktis dalam konteks dunia nyata. Dalam pengalaman belajar yang demikian, fakta, konsep, prinsip, dan prosedur sebagai materi pelajaran yang diinternalisasikan melalui proses penemuan, penguatan, keterkaitan dan keterpaduan (Forgarti, 1991, Mathews dan Cleary, 1993, dalam Gafur, 2003 : 2).

Berdasarkan konsep di atas, pembelajaran kontekstaul, akan membekali para siswa agar mereka mempweroleh pengetahuan dan pengalaman secara terpadu. Oleh sebab itu, melalui pembelajaran ini diharap pengetahuan dan pengalaman siswa tidak hanya bersifat teoritis maupun konseptual, tetapi lebih dari itu mereka mampu memaknainya dan memanfaatkannya dengan cara menghubungkannya dalam kehidupan nyata. Aspek-aspek lingkungan pembelajaran kontekstual sebagaimana tealah diuraikan di atas, dapat dipahami kembali dalam diagram di bawah ini.
Gambar. 9.3.
Aspek-aspek Lingkungan Pembelajaran CTL

4. Prinsip, Metode, dan Teknik Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual dalam pelaksanakannya didasarkan pada lima prinsip yaitu “keterkaitan atau relevansi (relating), pengalaman langsung (experiencing), penerapan atau aplikasi (applying), kerjasama (cooperating), alih pengetahuan (transferring)” (Gafur, 2003 : 3). Kelima prinsip tersebut, masing-masing memiliki teknik yang berbeda. Oleh sebab itu, pembel;ajaran akan berlangsung secara veriatif, kreatif, aktif dan rekreatif. Uraian masing-masing prinsip dan teknik tersebut sebagai berikut .

1). Prinsip Keterkaitan, Relevansi (Relating)
Pembelajaran kontekstual hendaknya senantiasa memperhatikan adanya keterkaitan atau kesesuaian antara pengetahuan, keterampilan bakat, dan minat yang telah dimiliki siswa dengan unsure-unsur pembelajaran yang dipersiapkan oleh guru (media, materi, alat bantu dll). Di samping itu, keterkaitan kedua hal tersebut di atas harus pula memiliki keterkaitan dengan konteks sosial dalam kehidupan nyata . hal ini sejalan dengan prinsip keterkaitan relevansi (relating) sebagai berikut.
Pembelajaran hendaknya ada keterkaitan (relevansi) dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa , relevansi antar internal seperti bekal pengetahuan, keterampilan, bakat, minat, dengan faktor eksternal seperti ekspose media dan pembelajaran oleh guru dan lingkungan luar), dan dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata seperti manfaat untuk bekal bekerja di kemudian hari dalam kehidupan masyarakat (Gafur, 2003:3)

Berdasarkan konsep di atas, ada tiga faktor yang harus dikaitkan dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual yaitu factor internal, eksternal, dan lingkungan kehidupan nyata. Keterkaitan ke tiga factor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 9.4.
Keterkaitan Faktor-faktor pembelajaran

Penggunaan prinsip keterkaitan atau relevansi dalam pembelajaran dapat dicontohkan sebagai berikut.

Pelajaran pengubinan pada pelajaran matematika sangat berguna jika seorang siswa ingin menjadi pengusaha tegel atau interior designer. Pelajaran sosiologi sosiatri, hokum adat, antropologi budaya berguna bagi siswa yang akan bekerja sebagai polisi, hakim, jaksa, dan LSM ( Gafur, 2003:2)

Dengan memperhatikan contoh tersebut, guru dapat mengembangkan prinsip keterkaitan pada materi pembelajaran yang lain dengan factor internal, eksternal, dan lingkungan kehidupan dalam konteks sosial yang lebih luas. Misalnya pelajaran “mengarang” pada pelajaran Bahasa Indonesia, sangat bermanfaat bagi siswa yang ingin menjadi seorang penulis buku atau pengarang buku, jurnalistik. Demikian pula pelajaran bermain peran atau drama, sangat berguna bagi siswa yang ingin terjun ke dunia acting. Masih banyak contoh yang lain, guru dapat mengembangkannya sendiri.

2). Prinsip Pengalaman Langsung (Experiencing)
Untuk memberikan dan menambahkan penguatan pemahaman serta pemaknaan siswa terhadap materi pembelajaran, dalam pembelajaran konstekstual, guru harus memperhatikan, memahami, dan melaksanakan prinsip pemgalaman langsung. Bahkan pengalaman langsung atau experiencing merupakan“ jantung pembelajaran kontekstual“ (Gafur, 2003: 2 ). Pemberian pengalaman langsung kepada siswas dapat melalui kegiatan “eksplorasi (perluasan), discovary ( penemuan ), inventory (pendaftaran), investigasi ( penyelidikan ), penelitian dll“ (Gafur, 2003:2). Kecepatan, ketepatan, dan kecdermatan dalam memperoleh hasil belajar akan tercapai, manakala siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memanipuali peralatan, memanfaatkan sumber dan media belajar, serta melakukan dan mengembangkan bentuk-bentuk kegiatan penelitian yang lain secara aktif. Untuk memudahkan dan memperlancar kegiatan pembelajaran diperlukan metode yang tepat dan media yang memadai. Metode yang dapat digunakan antara lain inquiri (penemuan), ekspositori (penjelasan), konstruksi (membangun), induktif (penyimpulan ), tugas, percobaan (eksperimen). Media yang dapat digunakan misalnya media cetak (buku teks, majalah, surat kabar), media elektronik (audo,video), dan media lingkungan social serta lingkungan alam sekitar. Uraian singkat dari beberapa metode tersebut serta teknik pembelajarannya sebagai berikut.

(1) Metode Inquiri (Inquiry)
Inquiri pada dasarnya merupakan sebuah metode yang mendorong dan mengarahkan siswa untuk melibatkan diri belajar secara aktif. Teknik yang dapat digunakan dalam metode ini antara lain pengumpulan data (pengamatan), pencatatan dan penafsiran data, pengambilan simpulan. Simpulan ini merupakan hasil belajar yang diperoleh siswa yang bentuknya dapat berupa konsep, prinsip, kaidah atau uraian sesuatu benda atau peristiwa. Dala
m perkembangan selanjutnya, teknik pembelajaran yang mendukung metode Inquiri yaitu “ceramah, tugas, tanya jawab, diskusi, resitasi, (hafalan), pemberian ulasan, merangkum” (Mulyasa, 2002:235). Teknik yang lain dapat dikembangkan sendiri oleh guru termasuk memadukan dengan metode yang lain yang saling saling mendukung.

(2) Metode Ekspositori (Expository)
Metode Ekspositori merupakan sebuah metode yang berusaha untuk memberikan kejelasan sesuatu atau suatu peristiwa yang sedang sedang dipelajari oleh siswa. Teknik yang dapat digunakan dalam metode ini misalnya ceramah, ulasan, demontrasi, uji coba, dan pengulangan (review). Teknik yang lain dapat dikembangkan sendiri oleh guru sesuai dengan kebutuan

(3) Metode Kontruktivisme
Metode Kontruktivisme pada prinsipnya sebuah prosedur pembelajaran yang berusaha membangun pengetahuan pada diri siswa dari sejumlah informasasi dan peristiwa (materi pelajaran). Pengubahaninformasi menjadi pengetahuan , terjadi melalui kegiatan “interprestasi” yang selanjutnya disebut “meaningful learning”. Interprestasi itu sendiri adalah “suatu proses berpikir yang singkat dan cepat yang terjadi dalam otak” (Mulyasa, 2002:238). Interprestasi merupakan proses awal pemerolehan pengetahuan melalui kegiatan berpikir. Dengan demikian, pembelajaran akan lebih berarti atau bermakna bagi siswa. Hal ini sesuai dengan konsep dasar meaningful learning yaitu “pembelajaran yang mengajak siswa berpikir dan memahami materi pembelajaran, bukan sekedar mendengar, menerima, melihat, dan meningat-ingat” (Mulyasa, 2002:240). Teknik yang dapat digunakan di antaranya pemunculan masalah, diskusi, debat, negoisasi (pertukaran pikiran), kolaborasi (penyamaan konsep).

(4) Metode Induktif
Metode Induktif pada prinsipnya merupakan pola berpikir dari hal-hal yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum. Dalam pandangan yang sama Induktif merupakan prosedur berpikir yang bersifat induksi yaitu “metode pemikiran yang bertolak dari kaidah (hal-hal atau peristiwa) khusus untuk menentukan hukum (kaidah) yang umum; penentuan kaidah umum berdasarkan kaidah khusus” (Depdiknas, 2001:431). Teknik yang dapat dikembangakan dalam metode ini misalnya observasi (pengamatan), analisis (penyelidikan), komparasi (perbandingan, dan sintesis (penyimpulan).
Dalam penerapan prinsip experiencing, guru dapat mengembangkan metode yang lain sesuai dengan kebutuhan.

3) Prinsip Aplikasi (Applying)
Salah satu indikator empiris bahwa siswa telah memahami sejumlah pengetahuan, di antaranya siswa mampu menerapkan, mengkomunikasikan serta mampu memanfaatkan dalam situasi yang berbeda (dari situasi pembelajaran ke situasi kehidupan nyata). Penerapan prinsip aplikasi merupakan salah satu pembelajaran tingkat tinggi. Dalam hal ini, siswa tidak hanya memiliki pengetahuan secara abstrak di alam pikiran namun mereka juga memiliki pengetahuan secara konkrit di alam nyata. Melalui pembelajaran aplikasi (penerapan), kepercayaan diri siswa akan tumbuh sehingga mereka terdorong untuk memikirkan karir dan profesi yang diminati. Dalam asumsi yang sama prinsip aplikasi (applying) yaitu :
Kemampuan suntuk menerapkan materi yang telah dipelajari untuk diterapkan atau digunakan pada situasi lain yang berbeda merupakan penggunaan (use) fakta, konsep, prinsip atau prosedur atau pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk penggunaan (use) ( Merrill & Reigeluth dalam Gafur, 2003:3).

Dalam pembelajaran kontekstaul, penerapan prinsip ini lebih berorientasi pada dunia kerja. Pada tataran yang lebih luas, pembelajaran dapat pula diarahkan pada situasi-situasi sosial yang ada dalam kehidupan di masyarakat. Dalam pembelajaran di kelas, guru dapat menggunakan berbagi media belajar seperti : buku teks, kliping, video, laboratorium. Pembelajaran akan lebih bermakna dengan dilengkapi dengan pengalaman langsung dalam kehidupan nyata. Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran prinsip ini antara lain observasi, karyawisata, dan eksperimen. Teknik-teknik pembelajaran yang dapat digunakan misalnya mengamati dan mencatat prinsip-prinsip kerja dan berbagai pesawat kerja dalam sebuah perusahaan, praktek kerja lapangan, magang (internship). Guru dapat mengembangkan metode dan teknik pembelajaran yang lain sesuai dengan kebutuhan dan prinsip di atas.

4). Prinsip Kerjasama (Cooperating)
Penerapan prinsip kerjasama dalam pembelajaran kontekstual, tidak hanya membantu para siswa dalam upaya menguasai materi pembelajaran tetapi juga memberikan wawasan kepada mereka bahwa penyelesaian suatu masalah atau tugas diperlukan kerjasama dalam bentuk tim kerja. Hal ini akan menggiring pemikiran siswa bahwa dalam penyelesaian suatu masalah atau tugas dalam kehidupan yang nyata, diperlukan pula kerjasama dalam bentuk tim sehingga hasil yang dicapai akan lebih baik. Pemikiran ini akan tumbuh pada diri para siswa, apabila mereka dibekali pengalaman langsung tentang ketrjasama baik dalam proses belajar di kelas maupun di luar kelas. Metode pembelajaran yang dapat digunakan sesuai dengan prinsip ini antara lain metode eksperimen, diskusi, bermain peran, simulasi, problem solping. Teknik pembelajaran yang dapat digunakan misalnya Tanya jawab, komunikasi interaktif, dan menyusun laporan.

5). Prinsip Alih Pengetahuan ( Transferring)
Prisip alih pengetahuan dalam pembelajaran kontekstual merupakan pengembangan dari prinsip aplikasi. Selain siswa mampu menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam situasi yang berbeda,bahkan diharapkan mampu mengembangkan dan menemukan konsep baru. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran kontekstual antara lain “ siswa mampu menerapkan materi yang telah dipelajarai untuk memecahkan masalh-masalah baru merupakan penguasaan strategi kognitif atau pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk menemukan (finding)” (Gagne,Reigeluth & Merrill dalam Gafur,2003:3).
Metode yang dapat digunakan dalam penerapan prinsip ini di antaranya metode inquiri, metode proyek, dan metode problem solping. Teknik pembelajaran yang dapat digunakan misalnya pengamatan, eksperimen, menggolongkan, menerapkan, menarik simpulan, dan mengkomunikasikan. Metode dan teknik pemebelajran yang lain dapat dikembangkan sendiri oleh guru sesuai dengan kebutuhan. Contoh penerapan prinsip ini, siswa dapat membuat pembangkit listrik penerapan setelah mereka mengetahui dan memahami sifat-sifat air, dan mengetahui prinsip-prinsip kerja dynamo serta baling-baling. Untuk melengkapi uraian di atas, hubungan prinsip, metode, dan pembelararan kontekstual digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
Tabel
Hubungan Prinsip, Metode, dan Teknik Pembelajaran Kontekstual

No Prinsip-prinsip CTL Metode Pembelajaran Teknik Pembelajaran
1 Keterkaitan, Relevansi (Relating) Ceramah, Observasi, Diskusi – Pemberitahuan tujuan, dan manfaat materi pelajaran.
– Mengamati jaringan topik materi pembelajaran.
– Tanya jawab
2 Pengalaman Langsung (Experiencing) Inquiri, Ekspositri, Kontruktivisme, Induktif, Experimen Mengamati, Mengelempokan, Membandingkan, Menyimpulkan
3 Aplikasi (Applying) Observasi, Karyawisata, Eksperimen Mengamati, Mencoba, Magang
4 Kerjasama (Cooperating) Eksperimen, Diskusi, Bermain Peran, Simulasi, Problem Solping Tanya jawab, Komunikasi interaktif, Menyususn laporan
5 Alih Pengetahuan (Transferring) Inquiri, Proyek, Problem Solping Mengamati, mencoba, menggolongkan, menerapkan, Menyimpulkan, Mengkomunikasikan

5. Integrasi Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kontekstual (CTL) dalam Pembelajaran

Pada umunya kegiatan pembelajaran dikelompokan menjadi tiga tahap yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Dalam pandangan yang sama kegiatan pembelajaran dikembangkan meliputi:

pembelajaran pendahuluan (pre-instructional activities), memancing penampilan siswa (eliciting performance), pemberian umpan balik (providing feedback), dan kegiatan tindak lanjut (pollow up activities) berupa remedial (perbaikan) dan pengayaan (remedial and enrichment), (Gafur, 2003:5)

Uraian masing-masing komponen kegiatan pembelajaran tersebut sebagai berikut.

1) Pembelajaran Pendahuluan (Pre-instructional Activities)
Pada umumnya kegiatan pembelajaran pendahuluan atau kegiatan awal dilaksanakan dengan kegiatan apersepsi atau prates. Dalam pembelajaran kontekstual, selain melaksanakan kegiatan tersebut kegiatan pembelajaran pendahuluan dikembangkan dengan kegiatan lain yang merupakan penjabaran dari prinsip “keterkaitan” (relating).
Kegiatan ini meliputi :
pemberian tujuan, ruang lingkup materi (akan lebih baik dilengkapi peta konsep yang menggambarkan struktur atau jalinan antara materi), manfaat atau kegunaan suatu topik baik untuk keperluan sekarang maupun belajar yang akan dating, manfaat atau relefansinya untuk bekerja di kemudian hari, dll. (Gafur, 2003:6 )

Dari pembelajaran pendahuluan yang melibatkan kegiatan prates, dapat diketahui kesiapan siswa untuk menerima materi pembelajaran. Siswa yang sudah menguasai pembelajaran diperbolehkan mempelajari topik berikutnya sedangkan siswa yang belum menguasai topik pelajaran diberi pembekalan atau matri kulasi. Setelah itu, mereka diperbolehkan mempelajari topik berikutnya.

2). Penyampaian Materi Pembelajaran (Presenting Instructional Materials).
Hal yang sangat penting untuk diperkatikan oleh guru penyampaian materi pembelajaran dalam pembelajaran kontekstual hendaknya jangan terlalu banyak penyajian yang bersifat “ekspositori (ceramah, dikte), dan deduktif”. Namun sebaliknya gunakanlah sebanyak mungkin metode penyajian atau presentasi seperti inquisitory, discovery, diskusi, inventori, induktif, penelitian mandiri” (Merrill, Reigeluth, Keachie dalam Gafur, 2003:6). Penyampaian materi pembelajaran diupayakan senantiasa menantang siswa untuk dapat memperoleh “pengalaman langsung, menemukan, menyimpulkan, serta menyusun sendiri konsep yang dipelajari” (Gafur, 2003:6). Sejalan dengan konsep di atas, penyampaian materi pelajaran lebih mengarah pada prinsip pengalaman langsung, penerapan, dan kerjasama. Hal lain yang tidak kalah penting dalam pembelajaran adalah media dan alat bantu sebagai alat pemusat perhatian seperti “paduan warna, gambar, ilustrasi, penegas visual” (Gafur, 2003:6). Kaitannya dengan masalah ini guru dapat memilih dan mengembangkan sendiri media maupuin alat bantu pembelajaran sesuai dengan kebutuhan.

3). Pemancingan Penampilan siswa (Eliciting Performance)
Siswa merupakan subjek pembelajaran, bukan objek pembelajaran. Oleh sebab itu, siswalah yang lebih banyak berperan aktif dalam pembelajaran dari pada guru. Dalam hal ini, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu mrnyiapkan fasilitas dan kondisi pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk aktif belajar. Untuk dapat mengaktifkan siswa dalam belajar, guru harus mampu memancing penampilan siswa (eliciting performance). Hal ini dimaksudkan untuk “ membantu siswa dalam menguasai materi atau mencapai tujuan pembelajaran melalui kegiatan latihan (exercise) dan praktikum” (Gafur, 2003:6). Berdasarkan konsep di atas, prinsip pembelajaran kontekstual yang di gunakan dalam kegiatan ini adalah penerapan dan alih pengetahuan. Dengan demikian orientasi kegiatan siswa pada kegiatan pelatihan dan penerapan konsep dan prinsip yang dipelajari dalam konteks dan situasi yang berbeda, bukan sekedar kegiatan menghapal” (Gafur, 2003:6). Contoh kegiatan dalam pembelajaran, siswa setelah mempelajari teknik menulis proposal kegiatan, selanjutnya mereka ditugasi menyusun proposal kegiatan kemping, klasmiting, bakti sosial dll. Dalam penyajian materi, siswa mempelajari proposal kegiatan karyawisata atau kegiatan lainnya.

4). Pemberian Umpan Balik (Providing Feedback)
Pada umumnya pemberian umpan balik (providing feedback) dilakukan melalui kegiatan pascates. Hasilnya kemudian di informasikan kepada siswa sebagai bahan umpan balik. Umpan balik itu sendiri diartikan yaitu” informasi yang diberikan kepada siswa mengenai kemajuan belajarnya” ( Gafur, 2003:6). Dalam prinsip pembelajaran kontekstual tidak dinyatakan secara eksplisit mengenai prinsip pembelajaran yang mengarah pada kegiatan umpan balik. Namun demikian, secara inplisit pemberian umpan balik dapat dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung baik dalam bentuk penilaian prates, penilaian proses, maupun pascates. Bahan umpan balik dapat diambil dari hasil penilaian melalui kegiatan pengamatan guru terhadap siswa dalam menerapkan prinsip-prinsip belajar kontekstual. Aspek-aspek yang dinilai antara lain keaktifan siswa, penarikan simpulan, penerapan konsep, dan kekompakan tim. Selain itu umpan balik dapat dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut

Siswa diberi tugas mengerjakan soal-soal latihan, lalu diberi kunci jawaban. Dengan mengetahui kunci jawaban, mereka akan mengetahui apakah jawabannya benar atau salah. Umpan balik yang baik adalah umpan balik yang lengkap. Jika salah, siswa diberitahukan kesalahannya, mengapa salah , kemudian dibetulkan. Jika jawaban siswa benar, mereka diberi konfirmasi agar mereka mantap bahwa jawabannya benar. Agar siswa dapat menemukan sendiri jawaban yang benar, ada baiknya umpan balik diberikan tidak secara langsung (delay feedback) misalnya “jawaban yang benar anda baca lagi pada halaman 34” (Gafur, 2003:7).

Berdasarkan uraian di atas, pemberian umpan balik dapat melalui informasi hasil penilaian proses dan hasil pekerjaan siswa dalam mengerjakan soal-soal latihan, tugas-tugas, baik individu maupun kelompok, serta informasi dari hasil penilaian lainnya.

5). Kegiatan Tindak Lanjut (Follow Up Activities).
Kegiatan tindak lanjut dalam pembelajaran kontekstual, merupakan pembelajaran tingkat tinggi. Hal ini dikarenakan bentuk kegiatan tindak lanjut berupa “mentransfer pengetahuan (transfering), pemberian pengayaan, dan remedial (remedial and enrichment)” (Gafur, 2003:7). Sebagaimana prinsip belajar trasfering dalam pembelajaran kontekstual, siswa akan belajar pada tataran yang lebih tinggi yakni belajar untuk dapat menemukandan mencapai strategi kognitif. Kegiatan tindak lanjut berikutnya yakni “pengayaan yang diberikan kepada siswa yang telah mencapai prestasi sama atau melebihi dari yang ditargetkan, dan remedial diberikan kepada siswa yang mengalami hambatan atau keterlambatan dalam mencapai target pembelajaran ayng telah ditentukan” (Gafur, 2003:7). Dengan demikian komponen pembelajaran tindak lanjut dilaksanakan dengan cara menemukan prinsip pembelajaran alih pengetahuan (transferring).

Berdasarkan uraian di atas, prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual dapat diintegrasikan kedalam kegiatan pembelajaran yang biasa dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dengan bekal pengetahuan sistem pembelajaran kontekstual atau CTL ini, guru dapat dengan segera melakukan perubahan dan pengembangan sistem pembelajaran yang dapat memberikan peluang lebih banyak terhadap keberhasilan belajar siswa. Untuk melengkapi uraian di atas, berikut ini disajikan table pengintegrasian prinsip-prinsip CTL kedalam pembelajaran.

Pengintegrasian Prinsip-prinsip CTL ke dalam Pembelajaran
No Komponen Kegiatan Pembelajaran Prinsip-prinsip CTL
1 Pembelajaran Pendahuluan
(Pre-Instructional Activities) Keterkaitan (Relating)
2 Penyampaian Materi Pembelajaran
(Presenting Intructional) Pengalaman langsung (Experimencing), Aplikasi (Applying), Kerjasama (Cooperating)
3 Pemancingan Penampialn siswa (Eliciting Performance) Aplikasi / Penerapan (Applying)
4 Pemberian Umpan Balik (Providing Feedback) Informasi Hasil belajar dan Proses Belajar (Evaluasi Penerapan Prinsip CTL)
(Gafur, 2003:7)

Kegiatan guru dan siswa bentuknya menyesuaikan metode dan teknik pembelajaran yang digunakan sebagaimana diuraiakan di atas. Adapun penerapan pembelajaran kontekstual (CTL) dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut.

SK & KD Bahasa Indonesia SMA

Standar Kompetensi & Kompetensi Dasar B. Indonesia SMA

A. Latar Belakang
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan:

  1. peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri;
  2. guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
  3. guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
  4. orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
  5. sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia;

daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

B. Tujuan

Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

  1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis
  2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara
  3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan
  4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial
  5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa

Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1. Mendengarkan
2. Berbicara
3. Membaca
4. Menulis.

Pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra.

D. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Kelas X, Semester 1


Mendengarkan

Standar Kompetensi
1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung

Kompetensi Dasar
1.1 Menanggapi siaran atau informasi dari media elektronik (berita dan nonberita)
1.2 Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disam¬¬paikan secara langsung/melalui rekaman

Berbicara

Standar Kompetensi
2. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita
Kompetensi Dasar
2.1 Memperkenalkan diri dan orang lain di da¬lam forum resmi dengan intonasi yang tepat
2.2 Mendiskusikan masalah (yang ditemukan dari berbagai berita, artikel, atau buku)
2.3 Menceritakan berbagai pengalaman dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat

Membaca

Standar Kompetensi
3. Memahami berbagai teks bacaan nonsastra dengan berbagai teknik membaca

Kompetensi Dasar
3.1 Menemukan ide pokok berbagai teks nonsastra dengan teknik membaca cepat (250 kata/menit)
3.2 Mengidentifikasi ide teks nonsastra dari berbagai sumber melalui teknik membaca ekstensif
Menulis

Standar Kompetensi
4. Mengungkapkan informasi dalam berbagai bentuk paragraf (naratif, deskriptif, ekspositif)

Kompetensi Dasar
4.1 Menulis gagasan dengan menggunakan pola urutan waktu dan tempat dalam bentuk paragraf naratif
4.2 Menulis hasil observasi dalam bentuk paragraf deskriptif
4.3 Menulis gagasan secara logis dan sistematis dalam bentuk ragam paragraf ekspositif

Mendengarkan

Standar Kompetensi
5. Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/tidak langsung

Kompetensi Dasar
5.1 Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman
5.2 Mengungkapkan isi suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman
Berbicara

Standar Kompetensi
6. Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi
Kompetensi Dasar
6.1 Mengemukakan hal-hal yang menarik atau mengesankan dari cerita pendek melalui kegiatan diskusi
6.2 Menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan diskusi

Membaca

Standar Kompetensi
7. Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen
Kompetensi Dasar
7.1 Membacakan puisi dengan lafal, nada, tekanan, dan intonasi yang tepat
7.2 Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari

Menulis

Standar Kompetensi
8. Mengungkapkan pikiran, dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi
Kompetensi Dasar
8.1 Menulis puisi lama dengan memperhatikan bait, irama, dan rima
8.2 Menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, irama, dan rima

Kelas X, Semester 2

Mendengarkan

Standar Kompetensi
9. Memahami informasi melalui tuturan

Kompetensi Dasar
9.1 Menyimpulkan isi informasi yang disampaikan melalui tuturan langsung
9.2 Menyimpulkan isi informasi yang didengar melalui tuturan tidak lan
gsung (rekaman atau teks yang dibacakan)

Berbicara

Standar Kompetensi
10. Mengungkapkan komentar terhadap informasi dari berbagai sumber
Kompetensi Dasar
10.1 Memberikan kritik terhadap informasi dari media cetak dan atau elektronik
10.2 Memberikan persetujuan/dukungan terhadap artikel yang terdapat dalam media cetak dan atau elektronik

Membaca

Standar Kompetensi
11. Memahami ragam wacana tulis dengan membaca memindai

Kompetensi Dasar
11.1 Merangkum seluruh isi informasi teks buku ke dalam beberapa kalimat dengan membaca memindai
11.2 Merangkum seluruh isi informasi dari suatu tabel dan atau grafik ke dalam beberapa kalimat dengan membaca memindai

Menulis

Standar Kompetensi
12. Mengungkapkan informasi melalui penulisan paragraf dan teks pidato

Kompetensi Dasar
12.1 Menulis gagasan untuk mendukung suatu pendapat dalam bentuk paragraf argumentatif
12.2 Menulis gagasan untuk meyakinkan atau mengajak pembaca bersikap atau melakukan sesuatu dalam bentuk paragraf persuasif
12.3 Menulis hasil wawancara ke dalam beberapa paragraf dengan menggunakan ejaan yang tepat
12.4 Menyusun teks pidato

Mendengarkan

Standar Kompetensi
13. Memahami cerita rakyat yang dituturkan

Kompetensi Dasar
13.1 Menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman
13.2 Menjelaskan hal-hal yang menarik tentang latar cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman

Berbicara

Standar Kompetensi
14. Mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi
Kompetensi Dasar
14.1 Membahas isi puisi berkenaan dengan gambaran penginderaan, perasaan, pikiran, dan imajinasi melalui diskusi
14.2 Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi

Membaca

Standar Kompetensi
15. Memahami sastra Melayu klasik
Kompetensi Dasar
15.1 Mengidentifikasi karakteristik dan struktur unsur intrinsik sastra Melayu klasik
15.2 Menemukan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra Melayu klasik

Menulis

Standar Kompetensi
16. Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen
Kompetensi Dasar
16.1 Menulis karangan berdasarkan kehidupan diri sendiri dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar)
16.2 Menulis karangan berdasarkan pengalaman orang lain dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar)

Kelas XI, Semester 1

Mendengarkan

Standar Kompetensi
1. Memahami berbagai informasi dari sambutan/khotbah dan wawancara

Kompetensi Dasar
1.1 Menemukan pokok-pokok isi sambutan/ khotbah yang didengar
1.2 Merangkum isi pembicaraan dalam wawancara

Berbicara

Standar Kompetensi
2. Mengungkapkan secara lisan informasi hasil membaca dan wawancara

Kompetensi Dasar
2.1 Menjelaskan secara lisan uraian topik tertentu dari hasil membaca (artikel atau buku)
2.2 Menjelaskan hasil wawancara tentang tanggapan narasumber terhadap topik tertentu

Membaca

Standar Kompetensi
3. Memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif dan membaca nyaring
Kompetensi Dasar
3.1 Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan membaca intensif
3.2 Membacakan berita dengan intonasi, lafal, dan sikap membaca yang baik

Menulis

Standar Kompetensi
4. Mengungkapkan informasi dalam bentuk proposal, surat dagang, karangan ilmiah
Kompetensi Dasar
4.1 Menulis proposal untuk berbagai keperluan
4.2 Menulis surat dagang dan surat kuasa
4.3 Melengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan kaki

Mendengarkan

Standar Kompetensi
5. Memahami pementasan drama

Kompetensi Dasar
5.1 Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan perwatakannya, dialog, dan konflik pada pementasan drama
5.2 Menganalisis pementasan drama berdasarkan teknik pementasan

Berbicara

Standar Kompetensi
6. Memerankan tokoh dalam pementasan drama
Kompetensi Dasar
6.1 Menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh
6.2 Mengekpresikan perilaku dan dialog tokoh protogonis dan atau antagonis

Membaca

Standar Kompetensi
7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
Kompetensi Dasar
7.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat
7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan

Menulis

Standar Kompetensi
8. Mengungkapkan infomasi melalui penulisan resensi
Kompetensi Dasar
8.1 Mengungkapkan prinsip-prinsip penulisan resensi
8.2 Mengaplikasikan prinsip-prinsip penulisan resensi

Kelas XI, Semester 2

Mendengarkan

Standar Kompetensi
9. Memahami pendapat dan informasi dari berbagai sumber dalam diskusi atau seminar

Kompetensi Dasar
9.1 Merangkum isi pembicaraan dalam suatu diskusi atau seminar
9.2 Mengomentari pendapat seseorang dalam suatu diskusi atau seminar

Berbicara

Standar Kompetensi
10. Menyampaikan laporan hasil penelitian dalam diskusi atau seminar

Kompetensi Dasar
10.1 Mempresentasikan hasil penelitian secara runtut dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar
10.2 Mengomentari tanggapan orang lain terhadap presentasi hasil penelitian

Membaca

Standar Kompetensi
11. Me
mahami ragam wacana tulis dengan membaca cepat dan membaca intensif
Kompetensi Dasar
11.1 Mengungkapkan pokok-pokok isi teks dengan membaca cepat 300 kata per menit
11.2 Membedakan fakta dan opini pada editorial dengan membaca intensif

Menulis

Standar Kompetensi
12. Mengungkapkan informasi dalam bentuk rangkuman/ringkasan, notulen rapat, dan karya ilmiah
Kompetensi Dasar
12.1 Menulis rangkuman/ringkasan isi buku
12.2 Menulis notulen rapat sesuai dengan pola penulisannya
12.3 Menulis karya ilmiah seperti hasil pengamatan, dan penelitian

Mendengarkan

Standar Kompetensi
13. Memahami pembacaan cerpen

Kompetensi Dasar
13.1 Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
13.2 Menemukan nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan

Berbicara

Standar Kompetensi
14. Mengungkapkan wacana sastra dalam bentuk pementasan drama
Kompetensi Dasar
14.1 Mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama
14.2 Menggunakan gerak-gerik, mimik, dan intonasi, sesuai dengan watak tokoh dalam pementasan drama
Membaca

Standar Kompetensi
15. Memahami buku biografi, novel, dan hikayat

Kompetensi Dasar
15.1 Mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh
15.2 Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat
Menulis

Standar Kompetensi
16. Menulis naskah drama

Kompetensi Dasar
16.1 Mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog naskah drama
16.2 Menarasikan pengalaman manusia dalam bentuk adegan dan latar pada naskah drama

Kelas XII, Semester 1

Mendengarkan

Standar Kompetensi
1. Memahami informasi dari berbagai laporan

Kompetensi Dasar
1.1 Membedakan antara fakta dan opini dari berbagai laporan lisan
1.2 Mengomentari berbagai laporan lisan dengan memberikan kritik dan saran

Berbicara

Standar Kompetensi
2. Mengungkapkan gagasan, tanggapan, dan informasi dalam diskusi
Kompetensi Dasar
2.1 Menyampaikan gagasan dan tanggapan dengan alasan yang logis dalam diskusi
2.2 Menyampaikan intisari buku nonfiksi dengan menggunakan bahasa yang efektif dalam diskusi

Membaca

Standar Kompetensi
3. Memahami artikel dan teks pidato

Kompetensi Dasar
3.1 Menemukan ide pokok dan permasalahan dalam artikel melalui kegiatan membaca intensif
3.2 Membaca nyaring teks pidato dengan intonasi yang tepat

Menulis

Standar Kompetensi
4. Mengungkapkan infomasi dalam bentuk surat dinas, laporan, resensi
Kompetensi Dasar
4.1 Menulis surat lamaran pekerjaan berdasarkan unsur-unsur dan struktur
4.2 Menulis surat dinas berdasarkan isi, bahasa, dan format yang baku
4.3 Menulis laporan diskusi dengan melampirkan notulen dan daftar hadir
4.4 Menulis resensi buku pengetahuan berdasarkan format baku

Mendengarkan

Standar Kompetensi
5. Memahami pembacaan novel

Kompetensi Dasar
5.1 Menanggapi pembacaan penggalan novel dari segi vokal, intonasi, dan penghayatan
5.2 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari pembacaan penggalan novel

Berbicara

Standar Kompetensi
6. Mengungkapkan pendapat tentang pembacaan puisi

Kompetensi Dasar
6.1 Menanggapi pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat
6.2 Mengomentari pembacaan puisi baru tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat

Membaca

Standar Kompetensi
7. Memahami wacana sastra puisi dan cerpen

Kompetensi Dasar
7.1 Membacakan puisi karya sendiri dengan lafal, intonasi, penghayatan dan ekspresi yang sesuai
7.2 Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen

Menulis

Standar Kompetensi
8. Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen

Kompetensi Dasar
8.1 Menulis resensi buku kumpulan cerpen berdasarkan unsur-unsur resensi
8.2 Menulis cerpen berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku, peristiwa, latar)

Kelas XII, Semester 2

Mendengarkan

Standar Kompetensi
9. Memahami informasi dari berbagai sumber yang disampaikan secara lisan

Kompetensi Dasar
9.1 Mengajukan saran perbaikan tentang informasi yang disampaikan secara langsung
9.2 Mengajukan saran perbaikan tentang informasi yang disampaikan melalui radio/televisi

Berbicara

Standar Kompetensi
10. Mengungkapkan informasi melalui presentasi program/proposal dan pidato tanpa teks

Kompetensi Dasar
10.1 Mempresentasikan program kegiatan/proposal
10.2 Berpidato tanpa teks dengan lafal, intonasi, nada, dan sikap yang tepat

Membaca

Standar Kompetensi
11. Memahami ragam wacana tulis melalui kegiatan membaca cepat dan membaca intensif

Kompetensi Dasar
11.1 Menemukan ide pokok suatu teks dengan membaca cepat 300-350 kata per menit
11.2 Menentukan kalimat kesimpulan (ide pokok) dari berbagai pola paragraf induksi, deduksi dengan membaca intensif

Menulis

Standar Kompetensi
12 Mengungkapkan pikiran, pendapat, dan informasi dalam penulisan karangan berpola

Kompetensi Dasar
12.1 Menulis karangan berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan deduktif dan induktif
12.2 Menulis esai berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan pembuka, isi, dan penutup

Mendengarkan

Standar Kompetensi
13 Memahami pembacaan
teks drama

Kompetensi Dasar
13.1 Menemukan unsur-unsur intrinsik teks drama yang dididengar melalui pembacaan
13.2 Menyimpulkan isi drama melalui pembacaan teks drama

Berbicara

Standar Kompetensi
14 Mengungkapan tanggapan terhadap pembacaan puisi lama

Kompetensi Dasar
14.1 Membahas ciri-ciri dan nilai-nilai yang terkandung dalam gurindam
14.2 Menjelaskan keterkaitan gurindam dengan kehidupan sehari-hari

Membaca

Standar Kompetensi
15 Memahami buku kumpulan puisi kontemporer dan karya sastra yang dianggap penting pada tiap periode

Kompetensi Dasar
15.1 Mengidentifikasi tema dan ciri-ciri puisi kontemporer melalui kegiatan membaca buku kumpulan puisi komtemporer
15.2 Menemukan perbedaan karakteristik angkatan melalui membaca karya sastra yang dianggap penting pada setiap periode

Menulis

Standar Kompetensi
16 Mengungkapkan pendapat dalam bentuk kritik dan esai
Kompetensi Dasar
16.1 Memahami prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai
16.2 Menerapkan prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai untuk mengomentari karya sastra

E. Arah Pengembangan

Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian perlu memperhatikan Standar Proses dan Standar Penilaian.

BAHASA JURNALISTIK

BAHASA JURNALISTIK

Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia di samping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, dan ragam bahasa literer (sastra) (Sudaryanto, 1995). Dengan demikian bahasa jurnalistik memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa Jurnalistik Menurut Para Ahli
BAHASA Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak dan online), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.
Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk kebutuhan komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton).
Rosihan Anwar : Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu : singkat, padat, sederhana, lancer, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.
Wojowasito : Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal. Sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikiantuntutan bahwa bahasa jurnalistik harus baik, tak boleh ditinggalkan. Dengan kata lain bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.
Yus Badudu: bahasa suratkabar harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar.
Asep Syamsul M. Romli: Bahasa Jurnalistik/Language of mass communication. Bahasa yang biasa digunakan wartawan untuk menulis berita di media massa. Sifatnya : (1) komunikatif, yakni langsung menjamah materi atau ke pokok persoalan (straight to the point), tidak berbunga-bunga, dan tanpa basa-basi. Serta (2) spesifik, yakni jelas atau mudah dipahami orang banyak, hemat kata, menghindarkan penggunaan kata mubazir dan kata jenuh, menaati kaidah-kaidah bahasa yang berlaku (Ejaan yang disempurnakan), dan kalimatnya singkat-singkat. (Materi Kuliah ”Bahasa Jurnalistik” Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN SGD Bandung. Copyrights (c) ASM. Romli, http://www.romeltea.co.nr).*
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features. Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama ada yang menyebut laporan utama, forum utama akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya.
Dengan perkembangan jumlah pers yang begitu pesat pasca pemerintahan Soeharto lebih kurang ada 800 pelaku pers baru bahasa pers juga menyesuaikan pasar. Artinya, pers sudah menjual wacana tertentu, pada golongan tertentu, dengan isu-isu yang khas.
Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran, ideologi, dan media massa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984) meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta Jawa dalam perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang feodalis. Naina (1982) tentang perilaku pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah seperti yang termanifestasikan dalam Tajuk Rencana. Hooker (1990) meneliti model wacana zaman orde lama dan orde baru. Penelitian tabor Eryanto (2001) tentang analisis teks di media massa. Dari puluhan penelitian yang breakout dengan pers, tenyata belum terdapat penelitian yang secara khusus memformulasikan karakteristik (ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi karakteristik bahasa pers yang termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana.
Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan
yang belum baik. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.
Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik praktis karya Rosihan Anwar (1991), Asegaf (1982), Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar, dll, namun masih perlu dimunculkan petunjuk akademik maupun teknis pemakaian bahasa jurnalistik. Dengan mengetahui karakteristik bahasa pers Indonesia—termasuk sejauh mana mengetahui penyimpangan yang terjadi, kesalahan dan kelemahannya,– maka akan dapat diformat pemakaian bahasa jurnalistik yang komunikatif.
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:
1. Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konflik Dayak-Madura, jelas bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis secara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang menekan seperti GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan, golongan frustasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi rusak karena penyisipan-penyisipan yang tidak bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.
Oleh karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai wartawan yang pernah bersentuhan dengan majalah Tempo.
Agar penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan makanan, semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki selera makan yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. (Slogan Tempo).
Goenawan Mohamad pada 1974 telah melakukan “revolusi putih” (Istilah Daniel Dhakidae) yaitu melakukan kegiatan pemangkasan sekaligus pemadatan makna dan substansi suatu berita. Berita-berita yang sebelumnya cenderung bombastis bernada heroik–karena pengaruh revolusi—dipangkas habis menjadi jurnalisme sastra yang enak dibaca. Jurnalisme semacam ini setidaknya menjadi acuan atau model koran atau majalah yang redakturnya pernah mempraktikkan model jurnalisme ini. Banyak orang fanatik membaca koran atau majalah karena gaya jurnalistiknya, spesialisasinya, dan spesifikasinya. Ada koran yang secara khusus menjual rubrik opini, ada pula koran yang mengkhususkan diri dalam peliputan berita. Ada pula koran yang secara khusus mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika dicermati, sesungguhnya, tidak ada koran yang betul-betul berbeda, karena biasanya mereka berburu berita pada sumber yang sama. Jurnalis yang bagus, tentu akan menyiasati selera dan pasar pembacanya.
Dalam hubungannya dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan (1) balancing, menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data, setidaknya prinsip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.
Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya:
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata
yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun seringkali kita masih menjumpai judul berita: Tim Ferrari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago Merah Melahap Mall Termewah di Kawasan Jakarta. Polisi Mengamankan Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Dalam menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis yang terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak pernah berhenti. Dengan berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan, barangkali akan bisa diwujudkan keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan dahaga selera pembacanya.
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972) sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun, persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993) disebut retorika tekstual yaitu kekhasan pemakai bahasa sebagai alat untuk mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa jurnalistik.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
A. Prinsip Prosesibilitas, Menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apa pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting
Perhatikan contoh berikut:
a. Pangdam VIII/Trikora Mayjen TNI Amir Sembiring mengeluarkan perintah tembak di tempat, bila masyarakat yang membawa senjata tajam, melawan serta tidak menuruti permintaan untuk menyerahkannya. Jadi petugas akan meminta dengan baik. Namun jika bersikeras dan melawan, terpaksa akan ditembak di tempat sesuai dengan prosedur (Kompas, 24/1/99)
b. Ketua Umum PB NU KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengadakan kunjungan kemanusiaan kepada Ketua Gerakan Perlawanan Timor (CNRT) Xanana Gusmao di LP Cipinang, Selasa (2/2) pukul 09.00 WIB. Gus Dur didampingi pengurus PBNU Rosi Munir dan staf Gus Dur, Sastro. Turut juga Aristides Kattopo dan Maria Pakpahan (Suara Pembaruan, 2/2/99)
Contoh (a) terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat pertama menyatakan pesan penting dan kalimat kedua menerangkan pesan kalimat pertama. Contoh (b) terdiri dari tiga kalimat, yaitu kalimat pertama menyatakan pesan penting dan kalimat kedua serta kalimat ketiga menyatakan pesan yang menerangkan pesan kalimat pertama.
B. Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
Perhatikan Contoh:
a. Ketika mengendarai mobil dari rumah menuju kantornya di kawasan Sudirman, seorang pegawai bank, Deysi Dasuki, sempat tertegun mendengar berita radio. Radio swasta itu mengumumkan bahwa kawasan Semanggi sudah penuh dengan mahasiswa dan suasananya sangat mencekam (Republika, 24/11/98)
b. Wahyudi menjelaskan, negara rugi karena pembajak buku tidak membayar pajak penjualan (PPN) dan pajak penghasilan (PPH). Juga pengarang, karena mereka tidak menerima royalti atas karya ciptaannya. (Media Indonesia, 20/4/1997).
Contoh (a) dan (b) tidak mengandung ketaksaan. Setiap pembaca akan menangkap pesan yang sama atas teks di atas. Hal ini disebabkan teks tersebut dikonstruksi oleh kata-kata yang mengandung kata harfiah, bukan kata-kata metaforis.

C. Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu (1) singkatan; (2) elipsis, dan (3) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik
a. Setelah dipecat oleh DPR AS karena memberikan sumpah palsu dan menghalang-halangi peradilan, Presiden Bill Clinton telah menjadi presiden kedua sejak berdirinya Amerika untuk diperintahkan diadili di dalam senat (Suara Pembaruan, 21/12/98)
b. Ketua DPP PPP Drs. Zarkasih Noer menyatakan, segala bentuk dan usaha untuk menghindari disintegrasi bangsa dari mana pun atau siapa pun perlu disambut baik (Suara Pembaruan, 21/12/98
Pada contoh (a) terdapat abreviasi DPR AS. Pada contoh (b) terdapat abreviasi DPP PPP. Selain itu ada abreviasi lain seperti SARA, GPK, OTB, OT, AMD, SDM. AAK, GPK, dll. Terdapat pula berbagai bentuk akronim dengan variasi pembentukannya walaupun seringkali tidak berkaidah. Misalnya. Curanmor, Curas, Miras, dll.
Elipsis merupakan salah satu cara mereduksi konstituen sintaktik dengan melesapkan konstituen tertentu.
a. AG XII Momentum gairahkan olahraga Indonesia (Suara Pembaruan, 21/12/98)
b. Jauh sebelum Ratih diributkan, Letjen (Pur) Mashudi, mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Ketua Umum Kwartir Gerakan Pramuka telah menerapkan ide mobilisasi massa. Konsepnya memang berbeda dengan ratih (Republika, 223/12/98)
Pada contoh (a) terdapat pelepasan afiks me(N)- pada verba gairahkan. Pelepasan afiks seperti contoh (a) di atas sering terdapat pada judul wacana jurnalistik. Pada contoh (b) terdapat pelesapan kata mobilisasi masa pada kalimat kedua.
Pronominalisasi merupakan cara mereduksi teks dengan menggantikan konstituen yang telah disebut dengan pronomina. Pronomina Pengganti biasanya lebih pendek daripada konstituen terganti.
a. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) hasil kongres Medan Soerjadi dan Sekjen Buttu Hutapea pada hari Minggu (23/8) sekitar pukul 18.30 Wita tiba di bandara Mutiara, Palu Sulawesi Tengah, dengan diangkut pesawat khusus. Keduanya datang untuk mengikuti Kongres V PDI, dengan pengawalan ketat langsung menunggu Asrama Haji dan menginap di sana. (Kompas, 24/8/98)
b. Hendro Subroto bukan militer. Sebagai seorang warga sipil, jejak pengalamannya dalam beragam mandala pertempuran merupakan rentetan panjang sarat pengalaman mendebarkan. Ia hadir ketika Kahar Muzakar tewas disergap pasukan Siliwangi di perbukitan Sulsel (Kompas, 24/8/98).
Pada contoh (a) tampak bahwa keduanya pada kalimat kedua merupakan pronominalisasi kalimat pertama. Pada contoh (b) kata ia mempronominalisasikan Hendro Subroto, sebagai warga sipil pada kalimat pertama dan kedua.
D. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
a. Dalam situasi bangsa yang
sedang kritis dan berada di persimpangan jalan, karena adanya benturan ide maupun paham politik, diperlukan adanya dialog nasional. “Dialog diperlukan untuk mengubur masa lalu, dan untuk start ke masa depan”. Tutur Prof. Dr. Nurcholis Madjid kepada Kompas di kediamannya di Jakarta Rabu (23/12) (Kompas, 24/12/98).
Pada contoh (a) tampak bahwa kalimat pertama menyatakan sebab dan kalimat kedua mendatangkan akibat.

Pemakaian Kata, Kalimat dan Alinea
Bahasa jurnalistik juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia baku. Namun pemakaian bahasa jurnalistik lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya. Pemakaian kata-kata yang bernas. Kata merupakan modal dasar dalam menulis. Semakin banyak kosakata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula gagasan yang dikuasainya dan sanggup diungkapkannya.
Dalam penggunaan kata, penulis yang menggunakan ragam BI Jurnalistik dihadapkan pada dua persoalan yaitu ketepatan dan kesesuaian pilihan kata. Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan kata yang dipakai sudah sangat tepat, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis dan pembaca. Sedangkan kesesuaian mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak wacana.
Penggunaan kalimat efektif. Kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan itu berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan itu tergambar lengkap dalam pikiran si pembaca, persis apa yang ditulis. Keefektifan kalimat ditunjang antara lain oleh keteraturan struktur atau pola kalimat. Selain polanya harus benar, kalimat itu harus pula mempunyai tenaga yang menarik.
Penggunaan alinea/paragraf yang kompak. Alinea merupakan suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu gagasan pokok dan beberapa gagasan penjelas. Pembuatan alinea bertujuan memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan suatu tema dari tema yang lain.
Beberapa Jenis Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
1. Berita.
Berita adalah peristiwa yang dilaporkan. Segala yang didapat di lapangan dan sedang dipersiapkan untuk dilaporkan belum disebut berita. Wartawan yang menonton dan menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan peristiwa. Wartawan sudah menemukan peristiwa setelah ia memahami prosesnya atau jalan cerita, yaitu tahu APA yang terjadi, SIAPA yang terlibat, kejadiannya BAGAIMANA, KAPAN, dan DI MANA itu terjadi, dan MENGAPA sampai terjadi. Keenam itu yang disebut unsur berita.
Suatu peristiwa dapat dibuat berita bila paling tidak punya satu NILAI BERITA seperti berikut.
a. Kebermaknaan (significance). Kejadian yang berkemungkinan akan mempengaruhi kehidupan orang banyak atau kejadian yang punya akibat terhadap pembaca. Contoh: Kenaikan BBM, tarif TDL, biaya Pulsa telepon, dll.
b. Besaran (magnitude). Kejadian yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak. Misalnya: Para penghutang kelas kakap yang mengemplang trilyunan rupiah BLB.
c. Kebaruan (timeliness). Kejadian yang menyangkut peristiwa yang baru terjadi. Misalnya, pemboman Gereja tidak akan bernilai berita bila diberitakan satu minggu setelah peristiwa.
d. Kedekatan (proximity). Kejadian yang ada di dekat pembaca. Bisa kedekatan geogragfis atau emosional. Misalnya, peristiwa tabrakan mobil yang menewaskan pasangan suami isteri, lebih bernilai berita daripada Mac Dohan jatuh dari arena GP 500.
e. Ketermukaan/sisi manusiawi. (prominence/human interest). Kejadian yang memberi sentuhan perasaan para pembaca. Kejadian orang biasa, tetapi dalam peristiwa yang luar biasa, atau orang luar biasa (public figure) dalam peristiwa biasa. Misalnya, anak kecil yang menemukan granat siap meledak di rel kereta api, atau Megawati yang memiliki hobby pada tanaman hias.
Berita jurnalistik dapat digolongkan menjadi (a) berita langsung (straight/hard/spot news), (b) berita ringan (soft news), berita kisah (feature) serta laporan mendalam (in-depth report).
Berita langsung digunakan untuk menyampaikan kejadian penting yang secepatnya diketahui pembaca. Aktualitas merupakan unsur yang penting dari berita langsung. Kejadian yang sudah lama terjadi tidak bernilai untuk berita langsung. Aktualitas bukan hanya menyangkut waktu tetapi jug sesuatu yang baru diketahui atau diketemukan. Misalnya, cara baru, ide baru, penemuan baru, dll.
Berita ringan tidak mengutamakan unsur penting yang hendak diberitakan tetapi sesuatu yang menarik. Berita ini biasanya ditemukan sebagai kejadian yang menusiawi dari kejadian penting. Kejadian penting ditulis dalam berita langsung, sedang berita yang menarik ditulis dalam berita ringan. Berita ringan sangat cocok untuk majalah karena tidak terikat aktualitas. Berita ringan langsung menyentuh emosi pembaca misalnya keterharuan, kegembiraan, kasihan, kegeraman, kelucun, kemarahan, dll.
2. Berita Kisah (Feature)
Berita kisah adalah tulisan tentang kejadian yang dapat menyentuh perasaan atau menambah pengetahuan pembaca lewat penjelasan rinci, lengkap, serta mendalam. Jadi nilainya pada unsur manusiawi dan dapat menambah pengetahuan pembaca.
Terdapat berbagai jenis berita kisah di antaranya (a) profile feature, (b) How to do it Feature, (c) Science Feature, dan (d) human interest feature.
a. Profile feature menceritakan perjalanan hidup seseorang, bisa pula hanya menggambarkan sepak terjang orang tersebut dalam suatu kegiatan dan pada kurun waktu tertentu. Profile feature tidak hanya cerita sukses saja, tetapi juga cerita kegagalan seseorang. Tujuannya agar pembaca dapat bercermin lewat kehidupan orang lain.
b. How to do It feature, berita yang menjelaskan agar orang melakukan sesuatu. Informasi disampaikan berupa petunjuk yang dipandang penting bagi pembaca. Misalnya petunjuk berwisata ke Pulau Bali. Dalam tulisan itu disampaikan beberapa tips praktis rute perjalanan (drat, laut, udara), lokasi wisata, rumah makan dan penginapan, perkiraan biaya, kualitas jalan, keamanan, dll..
c. Science Feature adalah tulisan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai oleh kedalaman pembahasan dan objektivitas pandangan yang dikemukakan, menggunakan data dan informasi yang memadai. Feature ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimuat di majalah teknik, komputer, pertanian, kesehatan, kedokteran, dll. Bahkan surat kabar pun sekarang memberi rubrik Science Feature.
d. Human interest features , merupakan feature yang menonjolkan hal-hal yang menyentuh perasaan sebagai hal yang menarik, termasuk di dalamnya adalah hobby dan kesenangan. Misalnya, orang yang selamat dari kecelakaan pesawat terbang dan hidup di hutan selama dua Minggu. Kakek berusia 85 tahun yang tetap mengabdi pad lingkungan walaupun hidup terpencil dan miskin.

Tips Menulis Berita
1. Tulislah berita yang menarik dengan menerapkan gaya bahasa percakapan sederhana . Tulislah berita dengan lead yang bicara. Untuk menguji lead anda “berbicara” atau “bisu” cobalah dengan membaca tulisan yang dihasilkan. Jika anda kehabisan nafas dan tersengal-sengal ketika membaca maka led anda terlalu panjang.
2. Gunakan kata/Kalimat Sederhana. Kalimat sederhana terdiri dari satu pokok dan satu sebutan. Hindari menulis dengan kata keterangan dan anak kalimat. Ganti kata-kata yang sulit atau asing dengan kata-kata yang mudah. Bila perlu ubah susunan kalimat atau alinea agar didapat tulisan yang “mengalir”. Ingat KISS (Keep It Simple and Short)
3. Hindari kata-kata berkabut. Kata-kata berkabut adalah tulisan yang berbunga-bunga, menggunakan istilah teknis, ungkapan asing yang tidak perlu dan ungkapan umum yang kabur. Yang diperlukan BI ragam jurnalistik adalah kejernihan tulisan (clarity).
4. Libatkan pembaca. Melibatkan pembaca berarti menulis berita yang sesuai dengan kepentingan, rasa ingin tahu, kesulitan, cita-cita, mimpi dan angan-angan. Tapi ingat: jangan sampai terjebak menulis dengan gaya menggurui atau menganggap enteng pembaca. Melibatkan pembaca berarti mengubah soal-soal yang sulit menjadi tulisan yang mudah dimengerti pembaca. Melibatkan pembaca juga didapat dengan
menulis sesuai rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
5. Gantilah kata sifat dengan kata kerja.
Baca kalimat ini: “Seorang perempuan tua yang kelelahan bekerja di sawahnya!” Bandingkan dengan: “Seorang perempuan tua membajak, kepalanya merunduk, nafas Nya tersengal-sengal!”
6. Gunakan kosakata yang tidak memihak.
Baca kalimat ini: “Seorang ayah memperkosa anak gadisnya sendiri yang masih Berusia 12 tahun.”
Bandingkan dengan: “Perkosaan menimpa anak gadis yang berusia 12 tahun.”
7. Hindari pemakaian eufemisme bahasa.
Baca kalimat: Selama musim kemarau terjadi rawan pangan di Gunung Kidul
Bandingkan dengan: Selama musim kemarau terjadi kelaparan di Gunung Kidul.

Dengan paparan bahasa jurnalistik seperti yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh jurnalis dalam menulis berita. Bahasa jurnalistik bersifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual bahasa jurnalistik yaitu prinsip prosesibilitas, mudah dipahami pembaca. Prinsip kejelasan yaitu menghindari ambiguitas. Prinsip ekonomi, menggunakan teks yang singkat tanpa merusak dan mereduksi pesan. Prinsip ekspresivitas, teks dikonstruksi berdasarkan aspek-aspek pesan.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan (1991). Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.

Anderson, Benedick ROG. (1966). Bahasa Politik Indonesia. Indonesia I, April : hal 89-116.

Anderson, Benedick ROG. (1984). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. London: Cornell University Pres.

Asegaf, Dja’far H. (1982) Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktik Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Badudu, J.S. (1988). Cakrawala Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Halliday, MAK. (1972). “Language Function and Language Structure” New Horizon of Linguistics. London: Penguin Book.

Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-prinsip Pragmatik (Alih Bahasa DD Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Oetama, Jacob. (1987). Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES.

McGoldrick, Annabel dan Lynch, Jake (2000). Jurnalisme Perdamaian Bagaimana Melakukannya?. Sydney: Seri Workshop LSPP, November 2000.

Reah, Danuta (2000). The Language of Newspaper. New York: Roudledge.

Sudaryanto (1995). Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater.

Suroso (2001). Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan. Yogyakarta: LSIP.